INVESTIGASINEWSCOVER.COM
BOGOR – Aroma dugaan permainan kotor tercium dari proses jual beli tanah di Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur. Dokumen resmi ada, tanda tangan pejabat lengkap, tapi tanah yang dijual ternyata tak memiliki Kohir (C desa).
Kasus ini bermula dari transaksi antara Anang (pembeli) dan Eka Setyawati (penjual) menggunakan Akta Jual Beli (AJB) Nomor 168. AJB itu diterbitkan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) Kecamatan Rancabungur saat kursi camat masih dipegang Iwan Erwan.
Bukan hanya camat, dokumen ini juga diteken mantan Kepala Desa Bantarjaya M. Humaedi, Sekdes Azhari, serta penjual Yoyoh bersama dua ahli warisnya, Yuli dan Unas Sunarti.
Fakta mengejutkan terungkap: tanah tersebut tidak memiliki Kohir (C Desa), tidak tercatat dalam administrasi desa, dan secara hukum-tidak sah!
Ironisnya, aparat desa justru menerbitkan dokumen “tiga serangkai” dan denah tanah berdasarkan Persil 121 Blok 11, yang kini diduga menjadi pintu masuk dugaan penyalahgunaan wewenang.
Camat Rancabungur saat ini, Dita Aprila, mengakui AJB tersebut memang teregister di buku administrasi kecamatan. Ia berjanji memfasilitasi musyawarah antar pihak. Namun janji itu belum ada wujudnya hingga hari ini.
Kesabaran warga pun habis. Achmad, perwakilan warga, mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bogor dan aparat penegak hukum segera bertindak.
"Kalau ada unsur pidana, sikat habis. Jangan ada yang kebal hukum!" tegasnya, Jumat (8/8/2025).
Selain Kejari, warga juga meminta Bupati Bogor lewat Inspektorat Daerah mengaudit dan mengevaluasi aparat desa maupun kecamatan yang diduga terlibat.
Sampai berita ini diturunkan, status hukum lahan tersebut masih menggantung. Kepala Desa Bantarjaya saat ini, Mangku Sudrajat, menolak mengeluarkan dokumen “tiga serangkai” sebelum ada arahan dari camat.
Sementara mantan Kades M. Humaedi, yang namanya tertera dalam AJB, memilih bungkam. Bahkan, ia memblokir nomor wartawan yang mencoba mengonfirmasi.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik. Warga menunggu-apakah hukum akan benar-benar tegak, atau justru “mati kutu” di hadapan para pejabat desa dan kecamatan?
( Achmad Hidayat)
Sumber Rilis : Gandi
Posting Komentar