KAMPUNG NAGA TETAP MELESTARIKAN BUDAYA DAN TRADISI DI TENGAN ARUS MODERNISASI



INVESTIGASINEWSCOVER.COM

GARUT - Kampung Naga, salah satu  dari kampung adat yang ada diwilayah Indonesia khususnya diwilayah Jawa Barat. Kampung Naga berada sekitar 1 km dari jalan raya Garut - Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, air yang berlimpah dan tetap mengalir walaupun dimusim kemarau , kampung Naga dilalui sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray di daerah Garut, sistem pemerintahan di Kampung Naga berlaku Sistem pemerintahan Formal dan Non Formal.


Secara administrative / secara formal , Kampung Naga berada di wilayah Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya – Jawa Barat . Untuk mencapai Kampung  Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan daerah Garut dan Tasikmalaya. Jaraknya sekitar 32 km dari kota Tasikmalaya dan 25 km dari Kota Garut. 



Secara non-formal atau sistem pemerintahan tradisional / Adat , terdapat beberapa jabatan penting yang memiliki tugas dan fungsinya masing-masing yakni kuncen, punduh adat dan lebe. 


- Seorang Kuncen di Kampung Naga , berwenang mengatur keseluruhan pola perilaku keadatan yang sesuai dengan aturan (tetekon) yang sudah berjalan sebelumnya di Kampung Naga. bertugas sebagai pemanggu adat dan pemimpin dalam setiap upacara adat.


- Punduh Adat ; adalah seseorang yang bertugas mengatur laku lampah masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan dan mengkoordinasi menjaga ketertiban kampung adat. aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari termasuk mengatur upacara-upacara dan ritual-ritual adat, gotong royong masyarakat Naga, menyelesaikan perpindahan penduduk ke tempat lain dengan bekerja sama pemimpin formal semisal RT/RW atau Kepala Dusun.


- Lebe ; Tokoh ini memiliki peran mengurusi semua hal yang berkaitan dengan keagamaan (religi) di kampung Naga, semisal memimpin upacara pernikahan, khitanan, upacara kematian, upacara keagamaan islam  dan lain sebagainya. Dikarenakan kampung Naga seluruhnya beragama Islam, maka kuncen pun biasanya berilmu agama Islam tinggi. 


Syarat menjadi Kuncen, Punduh, Lebe pada umumnya sama harus ada pertalian darah dengan pemanggung adat sebelumnya , harus laki-laki, dipilih secara musyawarah adat.  


Masyarakat Kampung Naga memiliki falsafah hidup sendiri yang sangat dipegang teguh, diantaranya adalah sebagai berikut:


1. Bersifat damai dan menjauhi perselisihan. Masyarakat Kampung Naga sangat mencintai kedamaian dan selalu berusaha menjauhi perselisihan, walaupun mendapat hinaan masyarakat Kampung Naga tidak boleh melawan melainkan berusaha menghindar. Walaupun demikian, apabila telah mengusik adat istiadat, masyarakat Kampung Naga berkewajiban membela keluhuran dan kewibawaan adat.


2. Bersifat taat kepada pemerintah. Walaupun kehidupan masyarakat mempunyai aturan tersendiri dalam kehidupannya, tetapi masyarakat Kampung Naga selalu berusaha taat kepada pemerintah selama hal itu tidak melanggar ketentuan dan aturan-aturan adat. Dalam hal ini masyarakat Kampung Naga mempunyai semacam idiom “Parentah gancang lakonan, panyaur gancang temonan, pamunut gancang caosan” yang berarti perintah segera laksanakan, panggilan/undangan segera datangi, permintaan segera penuhi.


Selain berpegang teguh terhadap falsafah hidup diatas, sebagai bagian dari upaya penghormatan dan pelaksanaan adat serta bagian dari kehidupan beragama masyarakat Kampung Naga melaksanakan upacara adat yang dilaksanakan secara rutin sebanyak enam kali dalam setahun. Upacara-upacara itu adalah sebagai berikut:


1. Upacara memperingat tahun baru Islam yang dilaksanakan pada bulan Muharam pada penanggalan Islam.


2. Upacara memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara adat ini disebut sebagai Muludan.


3. Upacara Jumadil Akhir untuk memperingati atau pertanda pertengahan tahun.


4. Upacara 1 Syawal untuk memperingati hari raya Idul Fitri, sekaligus penanda berakhirnya bulan puasa.


5. Upacara Rayagung, upacara untuk memperingati hari raya Idul Adha.


6. Upacara Nisfu Sa’ban, pertengahan bulan Rewah atau Sa’ban sebagai penanda bahwa akan masuk bulan puasa.


Dalam setiap upacara tersebut diatas masyarakat Kampung Naga berziarah ke makam Eyang Singaparna (sosok yang dianggap karuhun/leluhur oleh masyarakat Kampung Naga) yang letaknya berada di sebelah barat pemukiman atau di area hutan keramat. 


Wilayah Kampung Naga terbagi kedalam tiga area yaitu area Leuweung Karamat, area perkampungan dan area Leuweung Larangan. 


Area Leuweung Karamat merupakan area atau tempat nenek moyang atau karuhun (leluhur) masyarakat Kampung Naga dimakamkan. Area ini berada di sebelah barat area perkampungan yang dibatasi oleh masjid, ruang pertemuan dan bumi ageung. Area perkampungan adalah area atau tempat masyarakat Kampung Naga bertempat tinggal dan bercocok tanam. Sementara itu Leuweung Larangan merupakan area yang berupa hutan yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat dengan sembarangan. Leuweung Larangan ini diyakini oleh masyarakat Kampung Naga sebagai tempat para dedemit (hantu) sehingga tidak boleh dimasuki dengan sembarangan. Area Leuweung Larangan ini berada di sebelah timur pemukiman yang dibatasi oleh sebuah sungai yang bernama sungai Ciwulan


Untuk sampai ke Kampung Naga harus memakirkan kendaraan kita ditempat parkir yang cukup luas, selanjutnya kita harus berjalan kaki dengan  menuruni anak tangga sekitar 444 anak tangga dengan kemiringan 45 derajat hingga sampai disungai Ciwulan (Konon katanya setiap orang yang menghitung anak tangga tersebut hasilnya akan selalu berbeda-beda. Entahlah masih menjadi misteri). Penduduk Kampung Naga adalah penganut agama Islam, di samping masih memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun berasal dari nenek moyang mereka. 


Areal Kampung Naga hanya seluas 1,5 Ha , ada peraturan adat yang berlaku bahwa bangunan tidak boleh bertambah. Di Kampung Naga terdapat 115 bangunan yang terdiri dari 112 Rumah, 1 Balai Patemon (Balai Pertemuan), 1 Masjid dan 1 Bumi Ageung. Bumi Ageung adalah bangunan yang berukuran 3 x 6 meter, tempat menyimpan benda-benda pusaka seperti keris dan tombak. Karena tidak memungkinkan lagi mendirikan rumah baru, maka banyak penduduk yang termasuk adat sa-Naga bertempat tinggal di di luar Kampung Naga maupun di luar Desa Neglasari. Bahkan ada diantara mereka yang bertempat tinggal di Kota Garut. Tasikmalaya, 


Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan jumlah penduduk 280 jiwa, terdiri dari 102 Kepala Keluarga.


Bangunan di Kampung Naga memiliki bentuk yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Bangunan di kampung Naga dibangun di atas permukaan tanah yang berbentuk bangunan panggung. Ada yang berhadapan, ada yang saling membelakangi. Semua rumah dan bangunan di Kampung Naga dibangun mengarah ke Sungai Ciwulan. Berbagai bangunan adat yang ada di Kampung Naga tak hanya berfungsi untuk melestarikan budaya Sunda, tapi juga pelindung dari bencana gempa bumi, banjir, serta tanah longsor. Konstruksi bangunan adat di Kampung Naga merupakan bangunan yang tahan gempa. Sistem pondasinya dibuat dari tumpukan batu tanpa semen, sehingga air bisa meresap ke dalam tanah jika turun hujan.. Bentuk bangunan di Kampung naga termasuk dalam jenis bangunan / rumah panggung dengan ketinggian kira-kira 60 cm dari tanah. Lantainya terbuat dari palupuh (bambu), saat ini sebagaian bangunan sudah menggunakan papan, sedangkan dindingnya dari bilik bambu yang disebut dengan bilik.


Fungsi kolong rumahnya yaitu sebagai pengatur suhu dan kelembaban, serta untuk kandang ternak, ayam, itik, atau tempat menyimpan kayu bakar. Umumnya, rumah ini dibangun dari kerangka kayu yang diperkuat dengan pasak kayu, bambu, dan paku. Sementara, tiang-tiang penahan rumah dialasi dengan batu yang disebut tatapakan.  Atap rumahnya tampak seperti segitiga dari arah muka dan belakang. Bentuk ini memiliki ciri khas yang disebut susuhunan julang ngapak jolopong atau bentuk atap panjang pada satu atau kedua sisinya. Rumah-rumah tradisional di Kampung Naga harus memanjang dari arah timur-barat. Sementara, pintu rumah harus menghadap ke arah utara atau selatan. Fungsi Rumah Kampung Naga.


Rumah dalam upacara masyarakat Kampung Naga mempunyai fungsi sosial, ekonomis, dan kultural. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah dianggap sangat sakral.


Walaupun mereka menyatakan memeluk Agama Islam, mereka tetap menjaga warisan budaya leluhurnya.


Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan manjalankan adat istiadat nenek moyang, ini berarti menghormati para leluhur dan karuhun.


Warga Kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah Pareum Obor. Hal ini diterjemahkan secara singkat yaitu matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri yaitu terbakarnya arsip dan sejarah mereka. Masyarakat Kampung Naga memang masih memegang tradisi, warganya tidak ingin budaya luar masuk ke kampung naga. Termasuk modernisasi. Warga di sana tak memakai lampu listrik dari PLN, untuk penerangan cukup menggunakan cempor (lampu minyak) atau petromak.


Makanan sehari-hari didapat dari hasil yang dikelolah sendiri, Beras dari sawah yang ditanam sendiri, sayur-mayur dari kebun yang mereka petik sendiri, dan ikan dari ,kolam ikan dan dari sungai Ciwulan yang mereka pancing sendiri. Tidak ada menu istimewa yang sengaja dihidangkan sebagai kompensasi menahan lapar seharian seperti yang banyak terjadi di perkotaan.


Saran untuk pemberitahuan kepada penduduk untuk berkumpul, adanya acara, pemberitahuan adanya kematian, tanda masuknya waktu shalat, waktu saur dan berbuka disaat bulan Ramadhan dan lainnya melalui dulag / bunyi bedug  di masjid kampung yang selalu dibunyikan.


Kampung naga pun tetep dibuka untuk kunjungan para wisatawan mancanegara dan lokal. Warga  kampung Naga yang bekerja sebagai pemandu kunjungan dengan sabar menemani dan menjawab pertanyaan dari para pengunjung.


Pengelolaan parawisata di Kampung Naga saat ini dikelolah oleh Himpunan Pramuwisata Indonesia (HIPANA) dan Koperasi Warga Sauyunan. Tugas utama dari HIPANA adalah menjaga agar wisatawan tidak melakukan sesatu yang melanggar aturan adat dan menjelaskan mengenai sejarah Kampung Naga. Setiap pengunjung ke Kampung Naga akan dipandu  oleh petugas dari HIPANA.  , , ujar bapak Risman.


Saat melakukan kunjungan ke Kampung naga penulis dipandu oleh bapak Risman, dan beliau mengatakan setiap hari yang bertugas 10 orang secara bergantian sesuai dengan jadwal, ujarnya diakhir pertemuan


Kampung Naga adalah contoh luar biasa dari pelestarian budaya dan tradisi di tengah arus  modernisasi yang semakin pesat. Mengunjungi tempat ini memberikan kesempatan untuk melihat dan merasakan cara hidup yang sangat berbeda dari kehidupan kota yang sibuk.

(Pen.Syasa/AbyOne)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama